"Bismillahirrahmanirrahim"

"Bismillahirrahmanirrahim"

Teladan Seorang Imam

Penulis teringat akan sebuah pelajaran yang penulis ikuti di salah satu masjid di Kota Palangkaraya. Pada waktu itu penulis dan tiga orang teman lainnya sedang duduk (ngaji duduk) dengan penuh khidmat memperhatikan seorang Guru yang sedang mengajarkan pada kami sebuah kitab fikih mazhab Syafi’i. Jarak tempat duduk kami dengan Guru sekitar satu meter saling berhadapan. Memang pada malam itu kami rutin mengkaji kitab Al-Kawakib ad-Duriyyah syarh Mutammimah al-Ajrumiyah (kitab Nahwu) dan Hasyiyah al-Bajuriy (kitab fikih mazhab Syafi’i). Perlu juga akhi (saudaraku) ketahui, bahwa guru kami tersebut juga menjabat sebagai Imam tetap di masjid yang sama. Oleh sebab itu, pengkajian ini kami laksanakan ba’da shalat Isya berjamaah di masjid tersebut. 
 
Hal yang membuat penulis terkesan ialah ketika kami sampai pada pembahasan tentang Bab Thaharah. Di sela-sela menjelaskan kewajiban seseorang yang akan shalat agar suci badan, pakaian dan tempat shalat, beliau berucap: “Selama ini saya mencuci sendiri pakaian saya yang akan digunakan untuk shalat, demikian juga dengan sajadah bagi imam yang ada di dalam masjid, supaya yakin akan sucinya badan, pakaian dan tempat shalat saya. Apalagi menjadi seorang Imam yang memimpin shalat orang banyak.”

Saudaraku, betapa banyak orang Islam yang tidak mengerti cara mencuci pakaian berdasarkan ilmu fikih. Padahal kesucian (tidak kena najis) menjadi syarat sahnya shalat. Bahkan mereka tidak bisa membedakan antara kata suci dengan bersih, atau najis dengan kotor, padahal tidak sama. Najis adalah lawan kata dari suci, sedangkan kotor lawan kata dari bersih. Tidak semua yang kita lihat bersih itu suci, sebab yang dikatakan bersih atau kotor itu hanya apa yang tampak atau terlihat pada mata (misalnya pada pakaian), sedangkan najis atau bersih kadangkala tidak tampak atau tidak dapat dilihat adanya najis tersebut, tetapi akal dapat mengetahui bahwa pakaian tersebut terkena najis, walaupun tidak kotor (bersih). Misalnya: Baju, celana atau sarung dan sajadah yang kita masukkan ke dalam bak (ember) yang sudah berisi air yang suci, namun pada celana yang kita masukkan tadi terkena air kencing (najis), maka yang berada di dalam bak tadi menjadi terkena najis semuanya. Demikian juga apabila air yang digunakan adalah air yang terkena najis.

Menurut fikih, najis dianggap jatuh (hilang) jika disiramkan air dari atas ke bawah (air harus mengalir) dan air tersebut harus air yang suci. Oleh sebab itu, untuk menghilangkan najis pada pakaian dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:

1. menghilangkan najis yang ada pada pakaian terlebih dahulu baru kemudian pakaian dimasukkan ke dalam bak bersama pakaian yang lain, lalu diberi sabun dan dibilas hingga bersih, tanpa mengalirkan air lagi pada bilasan yang terakhir karena pakaian sudah suci.
2. mencampurkan semua pakaian ke dalam bak, baik yang bernajis atau tidak, lalu diberi sabun dan dibilas hingga bersih. Namun pada bilasan terakhir harus mengalirkan air ke semua pakaian yang ada di dalam bak (karena semuanya dianggap terkena najis) untuk menghilangkan najis.
 
Kedua cara tersebut sudah dapat dikatakan menghilangkan najis menurut fikih. Akan tetapi jika kita mau menghilangkan najis sejak awal dan pada bilasan terakhir itu tentu lebih baik, jika tidak dikatakan boros dalam menggunakan air.

Untuk itu sangat jelas bagi kita perbedaan antara bersih dan suci. Kebersihan pakaian diperoleh dengan menghilangkan kotoran yang tampak dengan sabun dan sebagainya. Sedangkan kesucian pakaian diperoleh dengan menghilangkan najis, baik yang tampak maupun tidak tampak dengan cara mengalirkan air yang suci pada pakaian yang terkena najis. Akan lebih baik jika menggunakan air dari Kran atau Leding, karena ia suci dan mengalir.

Kembali kepada kisah guru tadi yang membuat kita kagum. Beliau mencuci sendiri pakaiannya (bukan berarti tidak percaya dengan pekerajaan isteri) untuk menambah keyakinan. Demikian juga beliau mencuci sendiri sajadah mesjid yang beliau pergunakan untuk menjadi imam shalat, padahal tugas mencuci tersebut sebenarnya adalah tugas penjaga kebersihan masjid (kaum masjid). Semuanya dilakukan untuk menghadirkan kesucian ketika saat berhadapan dengan Allah SWT di dalam shalat. 

Nah, saudaraku! Jika anda sudah benar dalam menjaga kesucian badan, pakaian dan tempat shalat, maka itu suatu nilai kebaikan untuk anda. Akan tetapi, jika anda belum melaksanakannya, maka bersegeralah untuk meraih kesucian tersebut, dimulai dengan mensucikan badan, baru kemudian pakaian dan tempat shalat. Sebab, kesucian tersebut menentukan sah atau tidaknya; diterima atau ditolaknya shalat yang kita lakukan setiap harinya.

Wallahu A’lamu bi al-Shawab

Baca Teladan Seorang Guru


Bagikan ke

2 Responses to "Teladan Seorang Imam"

  1. apakah membersihkan (bilas) dengan ember dan ember secara terus diisi air yang mengalir (dari keran) bisa mensucikan? (dan air diember digunakan untuk membilas seluruh cucian, bisa 2 - 4 kali kucekan mesin)
    Apakah ada hukumnya jika membilas cucian harus pakaian siap bilas dulu yang dimasukkan ember, baru airnya?
    Bagaimana dengan iklan sekali bilas?

    ReplyDelete
  2. To: Didin

    Sebenarnya untuk mendapatkan predikat cucian yang suci dari najis, cukup dengan mengalirkan air pada pakaian saja dari atas ke bawah, misalnya pada pakaian yang terkena air kencing. Namun, jika benda najis itu terlihat maka harus dibersihkan terlebih dahulu, baru disiramkan air.

    Adapun membilas pakaian beberapa kali di dalam ember yang tidak mengalir adalah untuk mendapatkan pakaian yang bersih, bukan suci. Seperti iklan "sekali bilas" sama sekali tidak ditujukan untuk menghilangkan najis, tetapi hanya berkenaan dengan kebersihan pakaian saja.

    Kewajiban berpakaian suci dari najis hanya pada saat melaksanakan ibadah saja.

    ReplyDelete

About Me

My photo
Melak, Kalimantan Timur, Indonesia
Assalamu'alaikum wr. wb. Saya berharap kehadiran blog ini dapat bermanfaat bagi kaum muslimin demi tegaknya Islam di muka bumi. Amin...

Follow Me on